Cibinong Humas LIPI. Mikroalga dikenal sebagai living factory yang mampu menghasilkan
beranekaragam produk kandungan protein, lemak, karbohidrat, vitamin, pigmen, &
zat bioaktif lainnya yang berkualitas tinggi, “Permintaan dari pasar global terhadap
mikroalga cukup besar dengan harga tinggi, karena microalgae based fine chemicals
ini digunakan sebagai feed stock untuk neutraceutical, pharmaceutical, kosmetika,
dan pakan ikan/ternak,” ungkap Awalina, Peneliti Puslit Limnologi-LIPI pada Webinar Microalgae Biorefinery Series dengan
tajuk “Teknik Budidaya dan Pemanfaatan Mikroalga ” (10/11).
Awalina menjelaskan perspektif umum mikroalga. “Mikroalga ditinjau dari keberadaan
membran pada chloroplastnya terbagi menjadi dua yaitu Prokaryotic dan Eukaryotic. Prokaryotic
tidak memiliki membran sedangkan untuk Eukaryotic memiliki membran. Eukaryotic terdiri atas tiga golongan, yaitu pertama, chloroplast yang memiliki
dua membrane contohnya mikroalga merah glaucophyte. Kedua, chloroplast yang memiliki
satu membrane pada endoplasmic reticulum contohnya mikroalga euglonoids. Ketiga,
chloroplast dengan dua membran pada endoplasmic reticulum contohnya cryptophta
(disebut juga golden-brown algae). Sedangkan ditinjau dari aspek kebutuhan zat
karbon untuk sintesis biomassanya, mikroalga dibedakan menjadi tiga yaitu autotrofik,
heterotrofik, dan miksotrofik. Autotrofik mengandalkan karbon anorganik dalam
proses fotosintesis, sedangkan heterotrofik tidak melakukan fotosintesis dan menggunakan
karbon organik sebagai sumber energinya. Mikroalga miksotrofik adalah golongan
mikroalga yang dapat hidup secara autotrofik dan heterotrofik “,rincinya.
Dirinya menerangkan pula tentang milestone penelitian mikroalga di beberapa negara
Eropa yang telah berlangsung sejak abad 19. Berbagai kegiatan penelitian tersebut
telah melahirkan beberapa lembaga yang mengoleksi kultur mikroalga yang terkenal
seperti Halle der Saale (Jerman), Culture Center of Algae & Protozoa (CCAP)
(Cambridge-UK), Samlung von Algenkulturen Gottingen (SAG-Germany), dsb.
Kunci untuk dapat mengkultivasi mikroalga dengan baik adalah dengan membuat sistem
kultivasi yang sedapat mungkin meniru kondisi alami tempat mikroalga tersebut hidup dan memahami proses yang terjadi di dalamya. “Seperti
untuk mikroalga pantai lebih sensitif terhadap suhu, pH dan salinitas. Sedangkan mikroalga perairan darat kurang sensitif terhadap suhu tetapi lebih
sensitive terhadap pH. Bebeda dengan alga dari kutub jika terpapar temperatur
yang hangat tidak terlalu baik,” terang Awalina. “Mikro alga yang didapatkan di
daerah asam dengan kadar garam yang tinggi dibutuhkan special medium, jenis mikroalga
diatom butuh asupan silicon sedangkan euglenoid membutuhkan ammonia,” imbuhnya.
Selanjutnya Awalina mendeskripsikan potensi manfaat mikroalga untuk pangan, khususnya
untuk membantu program Sustainable Development Goals (SDG’s) yang terkait dengan
upaya memerangi kelangkaan pangan dan malnutrisi. Mikroalga menghasilkan biomassa yang kaya dengan zat nutrisi dan dapat dikultivasi
dengan kemampuan produktifitas yang tinggi pula.
Awalina memaparkan, mikroalga memiliki tiga fungsi besar yaitu sebagai feed stock
untuk produksi food, feed, and biofuels. Pemanfaatan sebagai food dan feed terdiri dari 4 cluster yaitu 1)nutraceuticals
karena banyak mengandung zat-zat bioaktif penting untuk pemenuhan kebutuhan nutrisi;
2)pharmaceuticals karena mengandung zat-zat anti inflamasi & anti oksidan
sehingga banyak digunakan untuk menanggulangi penyakit degeratif seperti masalah
jantung dan gangguan syaraf; 3) therapeutics proteins dapat digunakan untuk antivirus ; 4)cosmeceuticals
yaitu digunakan sebagai moisturisers dan emollients (karena mengandung PUFA),
sebagai antiageing dan UV protection, skin whitening dan haircare (karena mengandung
karotenoid, polisakarida, enzim-enzim antioksidan & asam-asam amino)
Sedangkan prospek ekonomi menurut Chisti (2017) mikroalga mengandung ~50% crude
protein, yield production 25 kali lebih besar dari yang dihasilkan oleh kedelai,
sehingga berpotensi sebagai alternative production yang berkesinambungan bukan
hanya untuk pangan dan pakan tetapi juga untuk biodiesel dan bioethanol. Akan tetapi produksi biomassa untuk mikroalga masih rendah yaitu hanya sekitar 9000
ton bobot kering pertahun sehingga harga produksinya cukup mahal (~US$36-355/kg).
Lebih lanjut, Awalina merinci kebutuhan pasar global akan biomassa mikroalga
untuk dapat diambil zat-zat bioaktif yang dikandungnya cenderung meningkat sangat
besar dari tahun ke tahun. Sebagai contoh biomassa kering Spirulina diproduksi
12.000 ton/tahun dengan harga US$30/kg dimana 70% diproduksi oleh China, India
dan Taiwan. Demikian pula halnya Chlorella (5000 ton/tahun), D. salina (3000 ton/tahun),
A. flosquae (1500 ton/tahun), H. pluvialis (700 ton/tahun), C. cohnii (500 ton/tahun)
dan Shizochytrium (20 ton/tahun).
Secara umum, pasar global produk untuk mikroalga mencapai 44,6 milyar USD diestimasikan
hingga 2023, dengan peningkatan 5,2 % teramati pada periode 2016-2023. Sementara
untuk Spirulina, Chlorella, Dunaliella, Haematococcus, Schizochytrium, P. cruentum
and C. cohnii telah ditetapkan oleh FDA (2018) sebagai sumber pangan dalam kategori
GRAS (Generally Recognized As Safe).
Pada tahun 2017, WHO juga telah menetapkan bahwa produk pangan dari mikroalga aman digunakan sebagai bahan
pangan bahkan untuk anak-anak. Ke depan, mikroalga berpotensi dikembangkan sebagai
produk komoditi industri, seperti karotenoid (diproyeksikan US$1,7 milyar pada
tahun 2022), astaxanthin untuk pakan , neutrasetikal, kosmetik, pangan diproyeksikan
akan mencapai US$1,1 milyar.
Awalina mengungkapkan pula bahwa mikroalga dapat dijadikan sumber alternatif
untuk sumber EPA/DHA untuk suplemen pangan dengan estimasi 95.000 ton pada tahun
2022. Hal ini tentu dapat menjadi tantangan yang menarik untuk Indonesia dalam
memenuhi kebutuhan pasar global tersebut, mengingat posisi geografisnya yang menguntungkan
untuk kultivasi mikroalga.
“Sistem kultivasi mikroalga meliputi dua jenis, yaitu 1) open pond culture, contohnya kolam alami ,lagoones, artificial ponds, dsb. Sistem ini sulit dikendalikan
karena dapat terkontaminasi dengan mikroalga lain apalagi yang beracun yang dimanfaatkan
sebagai pangan atau pakan dan 2) closed open culture menggunakan endclose photobioreactors
, dikenal ada 5 jenis yaitu tubuler, flat channels, coil, internally illuminated
bubble column, dan conical. Posisinya dapat saja horizontal, vertical, atau miring,” jelas Awalina.
Pada tahun 2020-2024, LIPI membentuk konsorsium dalam penelitian mikro dan makroalga
Indonesia (Prioritas Riset Nasional berbasis Malsai terintegrasi 2020-2023). Tujuan
dari Prioritas Riset Nasional ini adalah untuk menghasilkan inovasi berbasis MALSAI
sebagai salah satu potensi pengungkit perekonomian masyarakat. Konsorsium penelitian
ini terdiri atas 6 Work Breakdown Structure (WBS).
Sasaran pelaksanaan riset masing-masing WBS (pembagian tugas riset tiap lembaga
riset) antara lain: WBS1-MALSAI:database MALSAI berpotensi sebagai bahan pangan
& komoditas industri, WBS2-MALSAI:Rekayasa kultur untuk meningkatkan produktivitas
dan nutrisi MALSAI, WBS3-MALSAI:Teknologi paska panen MALSAI yang menghasilkan
biomassa dan kualitas tinggi, WBS4-MALSAI:Tekno ekonomi dan industrialisasi, WBS5-MALSAI:
Diversifikasi produk Inovatif, dan WBS6-MALSAI: Standardisasi bahan baku dan produk
inovatif MALSAI. Dengan demikian upaya pengembangan pemanfaatan sumberdaya yang
dimotori oleh PRN MALSAI ini dapat menjadi wujud nyata dalam tujuan pembangunan
berkelanjutan atau sustainable development goals (SDGs) 2 (tanpa kelaparan) dan
SDGs 14 (ekosistem kelautan).
Program Prioritas Riset Nasional Mikro dan makro Alga Strain Asli Indonesia (PRN-MALSAI)
merupakan program riset kolaborasi yang terdiri atas konsorsium lebih dari 9 institusi
yaitu LIPI, ITB, IPB, UGM, UNDIP, UNPAD, Kemenperin, SEAMEO-BIOTROP, MUI, BSNindustri
(CV. Ocean fresh, CV. Fikogama, PT. Neoalga, CV. Star Foodindo, dsb) dibawah koordinasi LIPI. Sumber pendanaan diperoleh dari program riset mandatory
LPDP-BRIN.
Terkait dengan teknologi pengembangan fotobioreaktor untuk produksi biomassa
mikroalga sebagai feed stock untuk produksi pangan, LIPI berkolaborasi dengan
Institut Teknologi Bandung tergabung dalam tim pengembangan fotobioreaktor telah
menginisiasi penelitian pengembangan process design pada teknologi fotobioreaktor
tersebut.
Pemaparan tentang teknologi photobioreaktor dalam webinar ini banyak mengungkapkan
tentang pentingnya pemahaman aspek kunci dalam penerapan bioprocess engineering pada berbagai jenis konfigurasi
photobioreactor dan moda operasionalnya. “Kami mengharapkan webinar ini akan dapat
mendorong minat masyarakat untuk berperan dalam upaya pengembangan teknologi Photobioreactor
sebagai wahana kultivasi mikroalga di tanah air. Hal ini penting mengingat prospek
kebutuhan pasar global akan zat-zat bioaktif yang terkandung di dalam biomassa
mikroalga seperti yang telah diuraikan di atas,” pungkas Awalina. (shf ed sl/al)