Cibinong, Humas LIPI. Ikan hias endemik merupakan kelompok ikan yang memiliki
kondisi lingkungan hidup yang spesifik dan daerah edar terbatas, sehingga hanya
terdapat di satu tempat atau satu wilayah di dunia (Brown & Gibson, 1983). Menurut Haryani &
Said (2010), Ikan hias asli Indonesia memiliki penyebaran yang mencakup dua kategori
yaitu di beberapa wilayah Indonesia (misalnya: Sumatera, Jawa, atau lainnya) atau
menyebar di Indonesia dan juga bersama-sama dengan di negara lain (misalnya: terdapat di
Indonesia juga di Australia).
Kelompok ikan hias endemik ini rentan terhadap perubahan kondisi lingkungan dan
ancaman kepunahan, yaitu ancaman secara fisik, kimiawi dan biologis yang berlangsung
secara terus-menerus. Ancaman fisik antara lain penangkapan yang berlebihan, perubahan
penggunaan lahan, penurunan kualitas habitat, perubahan tinggi muka air, peningkatan
suhu sejagat dan kebakaran hutan. Ancaman kimiawi antara lain pencemaran pertanian,
domestik dan industri yang menyebabkan penurunan kualitas air, seperti warna,
bau, perubahan nilai pH dan kesadahan/kandungan-kandungan mineral tertentu di
dalam air. Sedangkan ancaman biologis yaitu dengan masuknya jenis ikan hias yang
potensial invasif, bersifat predator atau kompetitor dalam mendapatkan ruangan
maupun sumber pakan.
Dra. Djamhuriyah S. Said, M.Si. Peneliti Ahli Utama Pusat Penelitian (Puslit)
Limnologi LIPI mengatakan, kepunahan tidak dapat dihindari, tapi kita dapat menekan
atau memperlambat laju kepunahan itu. Antara lain dengan memperbaiki habitatnya
yang telah rusak dan mengembalikannya ke kondisi semula. Selain itu dapat juga dilakukan dengan teknologi domestikasi. “Domestikasi merupakan
suatu kegiatan/aktivitas manusia dengan mengambil atau mengangkat hidupan liar
ikan hias dari alamnya untuk dipelihara pada kondisi terkontrol dan dikembangbiakkan.
Untuk keberhasilan kegiatan domestikasi, maka perlu pemahaman terhadap beberapa
faktor, yaitu faktor ekologis/lingkungan dan faktor biologis ikan target,” katanya.
Djamhuriyah menjelaskan, yang dimaksud dengan faktor atau kondisi ekologis/lingkungan
meliputi fisik, kimiawi, dan lengkungan biologis yang meliputi antara lain suhu,
kondisi padatan tersuspensinya, kondisi arus, dasar perairan, kondisi terlindung
atau terbuka ke matahari, pH perairan, kesadahan, konduktivitas, tumbuhan sekitar,
organisme lainnya serta kondisi ekologis lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan
kondisi biologis ikan yaitu morfometrik tubuh, jenis pakan dan kebiasaan makan,
rasio kelamin saat reproduksi, distribusi spasial, karakter reproduksi, tingkat
kematangan gonad, fekunditas/jumlah telur yang terdapat pada ovari ikan betina
yang telah matang gonad dan siap dikeluarkan pada waktu memijah.
Jenis-jenis ikan hias asli Indonesia yang telah didomestikasi oleh Puslit Limnologi
LIPI dalam 10-20 tahun terakhir antara lain ikan hias endemik Sulawesi Selatan
Marosatherina ladigesi, yang dikenal dengan Celebes rainbow, ikan hias asli Danau
Maninjau Rasbora argyrotaenia, ikan hias endemik Papua Glossolepis incisus/Ikan
Pelangi Merah, Melanotaenia boesemani/Ikan Pelangi Boesemani, Melanotaenia praecox/Ikan
Pelangi Mungil dan beberapa jenis Melanotaenia lainnya dan jenis Panchax.
“Dengan domestikasi, ikan-ikan yang teradaptasi ditunjukkan oleh kemampuannya bertahan hidup, mampu tumbuh dan mampu bereproduksi. Sebagai contoh pada tahap
awal domestikasi Ikan M. ladigesi mampu bertahan hidup hingga 60%, sedangkan ikan
R. argyrotaenia mampu bertahan hidup hingga 65%. Apabila sudah mampu bertahan
hidup, maka ikan dapat diproduksi secara massal. Kondisi ini dapat membantu mempertahankan
kondisi alaminya dan untuk memenuhi kebutuhan pasar,” jelasnya.
Teknologi Domestikasi
Teknologi domestikasi meliputi tahap eksplorasi yaitu melakukan pencarian/pengambilan
ikan target di habitat aslinya untuk memperoleh koleksi hidup. Tahap selanjutnya
adalah mengadaptasikan ikan target pada kondisi terkontrol, dengan manipulasi
lingkungan dan nutrisi/fisiogenetika. “Puslit Limnologi melakukan domestikasi
dengan dua sistem, yaitu Sistem Eksitu dan Sistem Semi Eksitu atau Semi Insitu.
Sistem Eksitu pemeliharaan dengan akuarium, bak-bak, kolam-kolam atau perairan
yang terpisah dari habitat aslinya. Sedangkan Semi Eksitu atau Semi Insitu dengan mengalirkan air dari habitat aslinya ke ruangan/cekungan yang dibuat
khusus. Pemeliharaan dilakukan di ruangan/cekungan “kolam” tersebut, dan setelahnya
air dari cekungan akan dialirkan lagi ke habitat alami pada bagian bawah, “ ungkap
Djamhuriyah.
“Pada Sistem Eksitu sedapat mungkin kita buat kondisinya mirip dengan aslinya, misalnya di habitat aslinya
aliran sungai dengan arus air yang mengalir, dasarnya kerikil, ada pelindung tumbuhan kecil, maka pada kolam atau akuarium kita buat ada arus,
ada tumbuhan air dan ada kerikil. Kita atur kondisi pH, suhu, kesadahan semuanya
dibuat semirip mungkin. Lama-lama ikan akan teradaptasi dengan kondisi kolam yang
kita buat. Apabila ikannya bersifat menempelkan telur di akar tumbuhan, maka di kolam kita buat
subtrat buatan untuk penempelan telurnya dari tali rafia yang kita perhalus mirip
akar tanaman,” jelasnya.
Djamhuriyah menambahkan, “Pada sistem Semi Eksitu sebenarnya lebih mudah, karena
memanfaatkan sumber daya air dan lingkungan setempat. Adaptasi ikannya lebih mudah,
pakannya lebih murah karena menggunakan pakan alami dari tempat itu saja, mudah
untuk penebaran kembali ke alamnya. Pada sistem ini air kita belokkan ke cekungan,
bebatuan atau apapun yang ada di areal asli kita pindahkan masuk ke area terkontrol
(cekungan/kolam). Ujung bagian terkontrol ini selanjutnya dialirkan kembali ke
habitat aslinya. Pada sistem ini sifat endemisitas ikan dapat dipertahankan.”
“Kelebihan pada Sistem Semi Eksitu ini dapat meningkatkan ekonomi masyarakat
setempat, bisa dimanfaatkan untuk produksi, serta digunakan sebagai sarana edukasi
dan rekreasi. Sementara kelebihan pada Sistem Eksitu kita bisa optimasi ikan yang
teradaptasi sesuai dengan kondisi yang kita harapkan, karena kondisinya sangat
terkontrol. Misalnya dengan perlakuan suhu lingkungan, tidak bergantung pada kondisi alami,”
tambahnya.
Pengembangan Penelitian
Penelitian ini masih terus dikembangkan dengan mempercepat pertumbuhan atau peningkatan
reproduksi, ketahanan hidup dengan manipulasi lingkungan, pakan dan genetik. Djamhuriyah
menjelaskan, “Komersialisasi sementara ini masih dilakukan secara personal oleh
peneliti. Misalnya ada petani atau supplier yang membutuhkan benih ikan hias tertentu,
mereka akan datang ke laboratorium dan mengganti biaya pakan saja. Pernah dilakukan
kerja sama dengan Pemerintah Daerah Maros Sulawesi Selatan dan Kementerian Kelautan
dan Perikanan untuk pengembangan ikan hias M. ladigesi. Dan pernah juga dilakukan
pameran ikan-ikan hias di beberapa tempat”.
Djamhuriyah menyampaikan harapannya, “Saya sangat mengharapkan hasil penelitian
itu digunakan secara luas oleh masyarakat dan hasilnya dirasakan oleh masyarakat
pula”. Domestikasi mengedukasi masyarakat agar mampu memenuhi kebutuhan ekonominya
dengan tetap mempertahankan kelestarian sumber daya alam. “Dan kita akan terus
mempublikasikan penelitian ini melalui seminar-seminar, pelatihan, ilmiah populer
dan kerja sama dengan program Iptekda agar lebih dikenal di masyarakat. Tentunya
hal ini membutuhkan dukungan dari pemerintah daerah setempat dalam pengembangannya,”
tutupnya. (IkS ed SL)