Cibinong, Humas LIPI. Integrated Multi Trophic Aquaculture (IMTA) merupakan metode
pemanfaatan sistem perikanan terpadu dengan pendekatan alamiah untuk mengoptimalkan
hasil budidaya, efisiensi pakan dan diversifikasi produk sekaligus ramah lingkungan.
IMTA diterapkan sebagai solusi terhadap mitigasi limbah dan peningkatan efisiensi
pakan sehingga tidak mencemari lingkungan. Pada teknologi IMTA, limbah yang dihasilkan
dari suatu komoditas dapat menjadi sumber energi bagi komoditas lainnya yang memenuhi
baku mutu lingkungan.
Drs. Tjandra Chrismadha, M.Sc., Peneliti Ahli Utama Pusat Penelitian (Puslit)
Limnologi LIPI mengembangkan IMTA untuk mengintegrasikan Lemna perpusilla atau
tumbuhan mata lele dengan budidaya perikanan. “Tumbuhan air ini berfungsi untuk
fitoremediasi kualitas air kolam dan produksi biomassa sebagai alternatif pakan
alami. Sebagai agen fitoremediasi, Lemna bersifat ramah lingkungan dan mempunyai
kemampuan untuk membersihkan air, khususnya bahan pencemar unsur hara,” kata Tjandra.
“Lemna mempunyai kandungan nilai nutrisi yang tinggi terutama protein, dan dapat
dikultur dengan biaya murah karena bisa tumbuh di air limbah yang mengandung unsur
hara tinggi,” tambahnya.
Tjandra menjelaskan, komoditas ikan yang telah diintegrasikannya dengan Lemna
dalam sistem IMTA yaitu budidaya Ikan Lele dan Ikan Nila. Pada sistem budidaya
terpadu ini, biomassa Lemna dapat digunakan untuk pakan tambahan untuk Ikan Lele sehingga dapat mengurangi biaya pakan. “Dengan tambahan pakan Lemna,
laju pertumbuhan Ikan Lele dapat mencapai 5-6 %/hari, dengan nilai survival rate
(SR) > 95% dan nilai efisiensi pakan atau feed confersion ratio (FCR) atau 0,7 –
1,2. Budidaya Ikan Lele dapat meningkat dan menghemat pakan ikan hingga 50%,” jelasnya.
Sebaliknya beban pencemaran dari kegiatan budidaya Ikan Lele dapat menjadi sumberdaya
unsur hara untuk mendukung pertumbuhan Lemna. “Laju pertumbuhan Lemna dalam kolam
sistem terpadu ini dapat mencapai > 39 %/hari, menghasilkan produksi 156 g/m2/hari
atau 569 ton BB/Ha/tahun. Selanjutnya budidaya Lemna digunakan sebagai pakan pada
budidaya Ikan Nila yang dapat menghasilkan laju pertumbuhan 1,5-6 %/hari, dengan
nilai SR > 95% dan FCR 15 – 45, tergantung dari fase tumbuh ikannya,” rinci Tjandra .
Dari aspek produksi, IMTA merupakan jawaban permasalahan utama pada usaha perikanan yaitu kebutuhan pakan yang tinggi dan
harga pakan yang mahal, serta sumber daya air yang semakin terbatas. “Keunggulan
IMTA dapat meningkatkan efisiensi biaya produksi Ikan Nila hingga 20% dan meningkatkan
efisiensi biaya produksi Ikan Lele hingga 30%. Pada aspek kualitas air dapat mengendalikan
masukan limbah nutrien > 70% pada budidaya ikan dan mengendalikan total suspended
solid (TSS) > 85%,” ungkap Tjandra.
Teknologi
IMTA menggunakan teknologi budidaya yang mengoptimalkan hubungan trofik antar
jenis biota, dimana setiap biota mempunyai peran (niche) yang dikategorikan dalam
tingkat rantai makanan (trofik). Dalam suatu rantai makanan terdapat siklus materi,
yang dalam konsep teknologi IMTA dioptimasi untuk meningkatkan efisiensi pakan.
“Limbah budidaya Ikan Lele yang diberi pakan pellet dimanfaatkan untuk budidaya
Lemna yang biomassanya dapat dimanfaatkan untuk pakan Ikan Nila. Dengan demikian
didapat keuntungan berupa sumber pakan yang murah untuk Ikan Nila, yang berarti
dapat menghemat biaya produksi,” jelas Tjandra lebih lanjut.
Karena sifat Lemna yang menyerap limbah unsur hara dari budidaya ikan, memungkinkan
diaplikasikannya sistem budidaya aliran tertutup yang hemat air. Budidaya Ikan
Lele dengan sistem resirkulasi air tertutup demikian dapat menghemat pemakaian
air hingga 80%. Tjandra menambahkan, “Puslit Limnologi LIPI membuat desain proses
yang terukur, yaitu penghitungan beban limbah budidaya Ikan Lele, pertumbuhan
tumbuhan air, serta keperluan atau laju konsumsi ikan terhadap Lemna. Sehingga didapat tingkat kepadatan budidaya Ikan Lele yang optimal untuk pertumbuhan
Lemna dan keperluan produksi biomassa untuk produksi Ikan Nila pada target tertentu”.
Pengembangan
Hasil penelitian ini telah didesiminasikan ke beberapa dinas perikanan di Kabupaten
Bandung, di Kabupaten Bogor, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Enrekang, Kabupaten
Samosir, Kabupaten Deli Serdang, dan Kabupaten Maninjau. Tjandra menjelaskan pada
umumnya para pejabat di dinas-dinas di atas maupun para kelompok tani yang diundang
menyambut baik hasil penelitian yang telah disampaikan dan mengharapkan adanya
program khusus untuk implementasi teknologi IMTA di wilayah mereka.
Uji coba skala prototip lapangan telah dilakukan di Desa Ligarmukti, Kecamatan
Kalapanunggal, Kabupaten Bogor, yang didukung oleh Program Laboratorium Sosial
Kedeputian Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan (IPSK) LIPI. Hasilnya memperlihatkan
efektivitas sistem IMTA ini untuk diterapkan di lapangan, namun implementasi selanjutnya
di lapangan masih terkendala oleh faktor modal dan kultur budidaya ikan masyarakat
setempat. “Karena Lemna merupakan komoditas baru yang memerlukan sistem pengelolaan
berbeda dengan sistem perikanan konvensional, masih diperlukan program untuk membimbing
masyarakat petani untuk menerapkan teknologi IMTA ini secara benar dan konsisten,”
papar Tjandra.
Tjandra menyampaikan harapannya, “Tentu akan sangat bangga bila teknologi IMTA
ini dapat benar-benar diaplikasikan oleh masyarakat luas. Berbagai upaya, khususnya
diseminasi tata kelola sistem IMTA di lapangan masih perlu lebih banyak dilakukan”.
Hal ini terutama karena budidaya Lemna masih merupakan hal baru bagi masyarakat
di Indonesia. Disamping itu karena sifatnya yang terpadu dalam pelaksanaannya
memiliki kompleksitas yang lebih tinggi dibanding cara budidaya konvensional,
khususnya dalam kaitan dengan segmentasi usaha dan interaksi antar segmennya.
“Implementasi di lapangan perlu melibatkan kelompok tani disertai pembinaan yang
intensif pada tahap awal pengembangannya. Upaya-upaya untuk bekerjasama dengan
dinas perikanan untuk upaya pembinaan ini masih terus dilakukan,” pungkasnya.
(IkS, ed Sl)