Kelompok Penelitian Kajian Potensi dan Konservasi Sumberdaya Perairan Darat

  1. Prof. Dr. Ir. Gadis Sri Haryani (Ketua)
  2. Dr. Ir. Syahroma Husni, M.Si.
  3. Dr. Ir. Lukman, M.Si.
  4. Dr. Nofdianto
  5. Ir. Fachmijany Sulawesty
  6. Dr. Yustiawati, M.Sc.
  7. Muhamad Suhaemi Syawal, S.Si.
  8. Siti Aisyah, S.Si
  9. Rahmi Dina, S.Pi., M.Si.
  10. Reliana Lumban Toruan, M.WRM.
  11. Ivana Yuniarti, M.Sc.
  12. Haiatus Shohihah, S.Si.
  13. I Gusti Ayu Agung Pradnya Paramitha, M.Si.
  14. Imroatushshoolikhah , S.Si.
  15. Aiman Ibrahim, M.Si

A. Potensi Sumberdaya Perairan Darat


Wilayah perairan darat merupakan tumpuan kehidupan manusia dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya dimasa kini dan masa mendatang, karena ekosistem perairan darat menyediakan sumberdaya alam yang produktif baik sebagai sumber air baku untuk minum dan kebutuhan sehari-hari, sumber protein hewani, mineral dan energi, media transportasi, maupun kawasan wisata. Untuk memanfaatkan ekosistem perairan darat secara berkelanjutan diperlukan pengetahuan yang lebih mendalam tentang potensi dan karakteristik sumberdaya perairan darat melalui penelitian seperti yang hasilnya disajikan di bawah ini.

Situ, Telaga, dan Ranu

Situ, telaga atau ranu merupakan salah satu tipe ekosistem perairan darat tergenang yang berukuran kecil tetapi sangat bermanfaat dalam sistem penyerapan air, pengendalian banjir, irigasi, usaha perikanan, sarana rekreasi, dan lain-lain.  Karena merupakan sistem terbuka maka perairan ini menerima buangan secara terus-menerus dari daerah sekelilingnya yang akan mempengaruhi kondisi kualitas air dan biota didalamnya. Pusat Penelitian Limnologi-LIPI telah melakukan pengamatan perairan ini sejak tahun 1988 di Situ Bojongsari, Sawangan Bogor, dilanjutkan di situ–situ di Jawa Barat lainnya, telaga di Jawa Tengah dan ranu di Jawa Timur.


Situ Cibuntu (Foto: G.S. Haryani, M. Badjoeri dan Triyanto).

Waduk

Pusat Penelitian Limnologi LIPI telah turut serta berperan dalam bidang penelitian terkait karakteristik dan potensi biota waduk di Jawa Barat dalam kurun waktu ± 2 dekade terakhir.

1. Waduk Saguling – Cianjur (Jawa Barat)

Waduk Saguling di Jawa Barat dimanfaatkan sebagai lokasi budidaya perikanan dengan sistem Keramba Jaring Apung (KJA). Permasalahan yang dihadapi Waduk Saguling salah satunya adalah kematian massal ikan dalam KJA. Hal tersebut disebabkan karena rendahnya konsentrasi oksigen dalam air. Sebagai salah satu upaya dalam menanggapi permasalahan tersebut, dilakukan pengukuran neraca oksigen di Waduk Saguling untuk mengetahui gambaran kondisi oksigen dalam air.

2. Waduk Cirata – Cianjur (Jawa Barat)

Waduk Cirata memiliki inlet yang berasal dari Sungai Citarum. Karakteristik Waduk Cirata pada bagian inlet, diketahui telah mengalami peningkatan bahan organik sedimen, akibatnya berpengaruh pada biomassa biota Oligochaeta khususnya Branchiura dan Lumbriculus (Lukman, 2002). Seperti halnya Waduk Saguling, Waduk Cirata merupakan lokasi budidaya perikanan dengan KJA.

3. Gajah Mungkur – Wonogiri (Jawa Tengah)

Waduk Gajah Mungkur mempunya kedalaman maksimum 136 m.  Permasalahan yang dihadapi adalah kesuburan perairan yang diindikasikan dengan tingginya tumbuhan air dan fitoplankton.   Fitoplankton yang mendominasi adalah Limnotrix sp. dari kelompok alga biru (Cyanophyta).  Berdasarkan rasio TN : TP, fosfor merupakan faktor pembatas pertumbuhan fitoplankton (Sulastri dkk., 2012).

Sungai-Sungai di Banten

Sungai Ciujung, S. Cimadur, S. Cisiih, S. Cipager, S. Cihara, dan S. Cidikit di Kabupaten Lebak, Banten.

Sungai Ciujung, S. Cimadur, S. Cisiih, S. Cihara dan S. Cipager adalah sungai yang cukup besar yang terletak di wilayah Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. DAS Ciujung termasuk Wilayah Sungai Cidanau-Ciujung-Cidurian (Kewenagan Pemerintah Pusat). DAS Cisiih, Cimadur dan Cihara berada di Wilayah Sungai Ciliman-Cibungur. Umumnya sungai-sungai tersebut menunjukkan kondisi perairannya subur. Perairan S. Ciujung telah dikategorikan perairan yang telah tercemar organik yang cukup tinggi, sedangkan S. Cihara masih dikategorikan sungai yang kondisinya belum tercemar dan alami (Lukman, 1993).  Sungai Cimadur dan S. Cisiih termasuk perairan yang bersih karena kondisi lingkungannya yang belum terganggu (Lukman & Aprilina, 1993).   Di bagian hilir Sungai Cisiih ditemukan dua jenis kepiting yang dominan di sungai tersebut yaitu Sesarma spp. dan Parathelpusa bogorensis. Kepiting Parathelphusa mempunyai kandungan protein cukup tinggi (12%) dengan berat biomassa 0,075 - 0,261 kkal/m2  (Lukman, 1994).   Terdapat tiga kelas perifiton atau Mikrobentik, yaitu Cyanophyceae (Alga biru-hijau); Chlorophyceae (Alga hijau); dan Bacillariophyceae (Diatom) di Sungai Cisiih dan S. Cimadur (Nofdianto, 1993).

Muara Sungai di Teluk Banten

Beberapa sungai yang bermuara ke Teluk Banten seperti Sungai Wadas, S. Cibanten, S. Cengkok, dan S. Pamong merupakan wilayah penangkapan ikan yang potensial dan menjadi daerah dengan pertumbuhan penduduk dan industri yang pesat. Meningkatnya aktivitas antropogenik dan industri di wilayah ini diduga akan berpengaruh terhadap produktivitas dan hasil penangkapan ikan. Kondisi kualitas air di empat muara sungai tergolong tercemar ringan dengan tingkat kesuburan perairan berkisar  eutrofik sampai hipertrofik, hasil tangkapan di muara - muara sungai Wadas, Cibanten, Cengkok dan Pamong tergolong masih cukup tinggi (Sugiarti dkk, 2013).

Sungai-Sungai di Jawa Barat

S. Cianten dan S. Cikaniki (Kabupaten; Bogor)

Sungai Cianten merupakan salah sungai yang terletak di Kabupaten Bogor-Jawa Barat, dan airnya bermuara ke Sungai Cisadane, sedangkan Sungai Cikaniki adalah sungai yang bermuara ke Sungai Cianten. Hulu Sungai Cikaniki berada di wilayah Taman Nasional Gunung Halimun-Bogor. komunitas makroinvertebrata bentik di Sungai Cianten dengan menggunakan substrat buatan. Di sungai–sungai ini dtemukan sebanyak 22 genus dari tujuh kelas makroinvertebrata, yaitu Crustacean, Gastropoda, Anelida, Trichoptera, Ephemeroptera dan Diptera (Lukman, 1990). Meningkatnya aktivitas antropogenik, terutama kegiatan penambangan emas tanpa izin (PETI) di sekitar wilayah Sungai Cianten dan Cikaniki mengakibatkan tercemarnya air sungai tersebut oleh logam merkuri (Hg).

Sungai Cisadane

Secara umum status kualitas air Sungai Cisadane telah termasuk kriteria air golongan III yaitu air yang digunakan untuk keperluan budidaya perikanan, peternakan, dan irigasi (Aisyah, 2013).  Bagian hilir Sungai Cisadane merupakan lokasi yang baik untuk mendapatkan koleksi bakteri agen bioremoval logam berat, didapatkan 1 isolat potensial agen bioremoval logam merkuri  yaitu Bacillus megaterium (Badjoeri, 2007).

Sungai Ciliwung dan S. Cikaniki

Sungai Ciliwung dan S. Cikaniki tercemar berat oleh NOx, PO43- dan Escherichia coli, logam yang ditemukan adalah Al dan Mn telah melebihi ambang batas, Cu, Zn, Pb, Cd, dan Fe masih dibawah ambang batas.  Selain itu didapatkan kadar merkuri  dalam sedimen di sungai Cikaniki (0,83-1,07 μg/g) dan padi (0,08 μg/g) yang mendekati nilai ambang batas (Sidker dkk.,  2012).

Sungai Cimanuk

Sungai Cimanuk merupakan sungai yang cukup besar yang terletak di bagian timur Provinsi Jawa Barat, hulu sungai ini berada di Gunung Papandayan dan bermuara di Laut Jawa yang terletak di Kabupaten Indramayu.  Sungai Cimanuk sangat dinamis karena  dipengaruhi aktivitas alam seperti hujan, erosi dan pengendapan lumpur, dan aktivitas manusia seperti pembuangan limbah domestik dan industri. Kondisi suhu, pH, turbiditas dan konduktivitas cenderung meningkat dari hulu ke hilir dengan pola yang sama baik pada musim kemarau maupun musim hujan. Konsentrasi amonia, nitrat dan ortofosfat pada kedua musim memperlihatkan pola yang fluktuatif (Aisyah, 2008).

A. Sungai-Sungai di Wilayah DKI Jakarta

Permasalahan kelangkaan air bersih di Indonesia, salah satun,ya disebabkan oleh rendahnya kualitas air yang tersedia. Padahal terdapat tiga belas sistem aliran sungai yang memgalir ke wilayah DKI Jakarta dan bermuara di Teluk Jakarta. Hal ini berarti sungai di DKI Jakarta merupakan limpahan air akhir yang juga membawa limbah (buangan) dari bagian hulu yang sebagian besar  berada di wilayah Jawa Barat.  Konsentrasi oksigen terlarut (DO), COD, BOD, total suspended solid, N-nitrat, N-nitrit, P-fosfat, dan Escherichia coli dari waktu kewaktu sangat fluktuatif dan bervariasi antar lokasi pengamatan dan sungai-sungai di wilayah DKI Jakarta sudah dikatagorikan tercemar ringan dan berat (Aisyah, 2015).

Perairan Darat di Pulau Sumatera

Ekosistem perairan darat sangat bermanfaat dalam sistem penyerapan air, pengendalian banjir, irigasi, usaha perikanan, sarana rekreasi, dan lain-lain. Danau dan sungai merupakan sistem perairan terbuka yang sarat menerima buangan secara terus-menerus dari daerah sekelilingnya, sehingga dapat mempengaruhi kondisi kualitas air dan biota didalamnya. Pusat Penelitian Limnologi-LIPI telah melakukan pengamatan ekosistem perairan darat di Sumatra sejak bertahun-tahun yang lalu. Berikut ini disajikan beberapa narasi mengenai perairan tergenang di Sumatera yang telah berhasil dikaji oleh Pusat Penelitian Limnologi LIPI.

1. Danau Toba
Danau Toba terletak di Sumatera Utara merupakan danau tekno-vulkanik dan danau terbesar di Indonesia (Lukman dkk., 2014), yang memiliki peran multisektoral karena memiliki fungsi untuk kegiatan perikanan, PLTA maupun kepariwisataan. Luas perairan Danau Toba adalah 1.124 km2, dengan kedalaman maksimum 508 m, dan volume 256,2 x 109 m3, serta waktu tinggal air 81 tahun (Lukman & Ridwansyah, 2010). Wilayah eufotik perairan Danau Toba rata-rata adalah 27 meter dengan luasan wilayah litoral mencapai 10,64 km2. Berdasarkan kandungan klorofil-a, Danau Toba termasuk perairan yang oligotrofik dengan potensi produksi perikanan mencapai 37,9 kg/ha/tahun (Lukman, 2011).  Sejak tahun 1988 telah dilakukan kegiatan budidaya Karamba Jaring Apung atau KJA (Lukman dkk., 2013). Pengembangan KJA di Danau Toba harus memperhatikan kapasitas daya dukung yang tidak mengancam kegiatan pariwisata. Daya dukung Danau Toba untuk produksi ikan KJA yang aman untuk aktivitas pariwisata adalah mengacu pada kondisi oligotrofik, yaitu 35.000 ton/tahun bahkan dibawahnya (Lukman & Hamdani, 2011).

Danau Toba (Foto: Lukman).


2. Danau Maninjau


 

Danau Maninjau (Foto: Triyanto).


Danau Maninjau, merupakan salah satu danau di Sumatera Barat yang terkenal dengan keindahan alamnya sehingga menjadi tujuan wisata yang cukup terkenal. Selain untuk tujuan wisata, danau ini merupakan danau multifungsi yang dimanfaatkan untuk sumber air irigasi, PLTA dan perikanan. Hasil pemetaan batimetri oleh Fakhrudin dkk. (2002) menunjukkan kedalaman maksimum   165 m, panjang garis pantai  52,68 km,  shore line development  1,51 km/km2, luas permukaan air   9.737,50 ha, panjang maksimum 16,46  km, lebar maksimum  7,5  km dan volume air 10.226.001.629,2 m3. Berdasarkan perhitungan waktu tinggal (water retention time) 25 tahun.

Peta Batimetri Danau Maninjau (Fakhrudin dkk., 2002).

3. Danau Singkarak
Danau Singkarak yang terletak di Kabupaten Tanah Datar dan Kabupaten Solok Sumatera Barat, merupakan salah satu danau tektonik di wilayah patahan Sumatera (Sulawesty & Awalina, 2010). Danau ini memiliki luas permukaan 10.908,2 ha; maksimum kedalaman 271,5 m; rata-rata kedalaman 178 m; panjang maksimum 20 km, dan lebar maksimum 7 km.

 
 

Danau Singkarak (Foto: Dok. Puslit Limnologi).

4. Danau Laut Tawar
Danau Laut Tawar terletak di Dataran Tinggi Gayo, Kabupaten Aceh Tengah, dengan luas 5.742,10 ha. Danau ini memiliki arti penting sebagai sumber air bersih bagi masyarakat setempat, pertanian, industri, dan perikanan.  Pemanfaatan sumberdaya perairan danau yang multi fungsi ini pada umumnya belum dikelola dengan pola berkelanjutan sehingga memicu munculnya berbagai permasalahan dan konflik sosial. Masalah pencemaran merupakan isu utama bagi pemanfaat dan pengelola; permasalahan selanjutnya adalah pemakaian alat tangkap illegal; penurunan ketebalan hutan di sekitar danau; hilangnya sumber-sumber air dan sungai; dan rendahnya pemahaman masyarakat terhadap kelestarian sumberdaya.

5. Danau Ranau
Danau Ranau terletak pada ketinggian 538,71 m dpl, terletak di Propinsi Sumatera Selatan dan Lampung.  Mempunyai luas permukaan 128,13 km2, kedalaman maksimum 221 m dan volume air rata – rata 19,92 x 109 m3 (Harsono dkk., 2002).  Kandungan klorofil berkisar 0,00 – 4,777 mg/m3 menunjukan klasifikasi kesuburan tergolong mesotrofik (Sulastri dkk., 2002).    Fitoplankton yang ditemukan terdiri dari kelompok diatom (Chrysophyta), alga hijau (Chlorophyta), alga biru (Cyanophyta), Phyrrophyta, dan Euglenophyta.  Didominasi oleh diatom seperti Melosira, Navicula dan Synedra, sedangkan pada bagian litoral didominasi oleh alga hijau seperti Chlorella dan alga biru seperti Chroococcus.  Kelimpahan di daerah pelajik berkisar 1.426 – 36.511 individu/L dan di daerah litoral 921 – 81.578 individu/L (Sulastri & Sulawesty, 2002).

Danau Ranau (Foto: Dok. P2L).

6. Danau Kerinci
Danau Keinci merupakan danau tekto-volkanik dengan luas permukaan 4.200 ha, kedalaman maksimum 100 m, dan terletak pada ketinggian 783 m asl.  Masuk dalam kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat, terletak di Kabupaten Kerinci  (Hartoto dkk., 2002).  Fitoplankton yang didapatkan terdiri Melosira, Synedra, Chlorella, Cosmarium, Staurastrum, Glenodinium, dan Euglena; dimana Synedra sp. merupakan jenis yang mendominasi. Berdasarkan indeks keragaman D. Kerinci termasuk danau eutrofik, stratifikasi suhu dan oksigen mempengaruhi pola penyebaran fitoplankton secara vertikal (Sulawesty & Yustiawati, 1999). 

7. Danau Teluk
Danau Teluk merupakan danau oxbow yang berhubungan dengan Sungai Batanghari, dimana pada saat banjir limpasan airnya mengisi danau sedangkan pada saat kemarau sangat sedikit atau terputus sama sekali (Hartoto dkk., 1994).    Danau ini merupakan penghasil ikan botia dan ikan bilis terbesar pada musimnya dan dimanfaatkan sebagai tempat budidaya ikan dalam karamba, sarana penyedia air untuk kebutuhan domestik, dan sarana navigasi  (Hartoto dkk., 1998).   Fitoplankton yang banyak ditemukan di Danau Teluk adalah Chlorophyta, Chrysophyta dan Pyrrophyta, jenis yang mendominasi pada semua musim adalah Peridinium sp., diduga hal ini disebabkan karena jenis ini tahan terhadap perubahan kualitas perairan di D. Teluk (Sulawesty, 1999).

8. Giam Siak Kecil-Bukit Batu
Kualitas air di kawasan Cagar Biosfer Bukit Giam Siak Kecil yaitu di Bukit Batu dan Kabupaten Tasik Betung menunjukan bahwa air gambut di kedua wilayah tersebut memiliki pH rendah, kandungan bahan organik yang tinggi dan warna yang tidak layak sebagai air minum. pH air 2,3 (asam), total bahan organik (TOM) 10 mg/L - 438 mg/L, sedangkan warna air jauh di atas batas yang dapat diterima. Masyarakat setempat menggunakan air gambut untuk keperluan non minum seperti mencuci, mandi dan berkebun, sedangkan untuk air minum digunakan air hujan dan air dalam kemasan. Namun sebagian masyarakat lainnya menggunakan air gambut untuk keperluan minum tanpa pengelolaan lebih lanjut (Toruan & Sutapa, 2012).

9. Danau Diatas
Danau Diatas merupakan danau tektonik yang, digunakan Pemerintah Sumatera Barat sebagai daerah wisata dan sumber air irigasi. Hasil pemetaan batimetri oleh Ridwansyah & Syawal (2008) menghasilkan luas danau 1245 Ha dengan kedalaman maximum 47 m dan kedalaman rata-rata 24,3 m, volume danau 302 x 106 m3, dan retention time mencapai 7,7 tahun. Luas Das D. Diatas mencapai 4086 ha sehingga mempunyai rasio 1: 3,03 antara luas permukaan air dengan luas DAS. Kemiringan lereng didominasi pada 3% – 15% dengan luas 51% dari luas DAS. Penggunaan lahan didominasi oleh semak belukar (59%), sedangkan hutan 22%, ladang 6 % dan sawah tadah hujan13% dari total luas DAS.

Perairan Darat Di Pulau Kalimantan

1.Perairan Mangrove Di Kalimantan Timur
Selain penelitian mengenai ekosistem danau penelitian yang telah dilakukan oleh  Pusat Penelitian Limnologi LIPI juga mencakup ekosistem mangrove terutama fungsinya sebagai wilayah pendukung ekonomi melalui kegiatan budidaya kepiting dengan cara silvofishery (Triyanto dkk., 2012, 2013a). Metode ini telah terbukti sebagai salah satu metode budidaya ramah lingkungan. Secara umum  kondisi mangrove di Kabupaten Berau sangat mendukung untuk menjaga kehidupan kepiting bakau (Triyanto dkk., 2014). Selain itu kesimpulan yang dapat diambil adalah peningkatan kualitas dan juga ukuran kepiting bakau yang siap dipasarkan sehingga diperoleh P/C ratio (profit cost ratio) sebesar 0,43-1,19 (Triyanto dkk., 2013b). Kondisi mangrove di delta Mahakam masih relatif muda, terdapat perbedaan antara struktur mangrove dan tingkat regenerasi di muara Jawa dan muara Berau (Lukman dkk., 2006).

2.Danau Semayang, Danau Melintang dan Sungai Mahakam
Danau-danau di Sungai Mahakam terdiri dari tiga danau yang saling berdekatan yakni Danau Semayang, Danau Melintang, dan Danau Jempang yang semuanya terkait dengan aliran Sungai Mahakam. Ketiga danau ini termasuk tipe danau paparan banjir (floodplain) yang umumnya tedapat di dataran rendah. Danau-Danau ini terletak di Kabupaten Kutai Kertanegara dan Kutai Barat, Provinsi Kalimantan Timur. Danau Semayang mempunyai luas 13.000 ha dengan kedalaman 3,5 m, Danau Melintang dengan luas 11.000 ha dan kedalaman 2 m, sedangkan Danau Jempang dengan luas 15.000 ha dan kedalaman 3,50 m. Kedalaman ini merupakan kedalaman rata-rata, karena tinggi muka air danau - danau ini sangat dipengaruhi oleh musim. Pada musim hujan, air danau melimpah dan membanjir hingga D. Semayang menyatu dengan D. Melintang. Namun pada musim kemarau air danau menyurut, hingga sebagian danau menjadi lahan kering dan meninggalkan alur-alur dan lubuk kecil saja yang masih tersisa. (Lukman dkk., 1998). Danau yang berubah menjadi lahan kering di musim kemarau ini dimanfaatkan oleh penduduk untuk keperluan pertanian, misalnya ditanami padi. Salah satu fungsi penting Danau-danau Mahakam adalah sebagai media transportasi, mengingat transportasi darat selama ini belum berkembang dengan baik di sekitar danau, terutama karena kondisi lahannya yang berawa-rawa. Danau-danau Mahakam juga mempunyai peran penting dalam kegiatan perikanan masyarakat. Perikanan dilaksanakan baik dengan perikanan tangkap maupun dengan perikanan budidaya. Hasil perikanan tidak saja untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setempat tetapi juga dipasarkan hingga ke kota Samarinda. Kegiatan perikanan danau akan turun drastis pada musim kemarau karena banyak bagian danau yang mengering (Lukman dkk., 1998).

3.Danau Loa Kang
Salah satu biota endemik yang sangat terkenal dari Provinsi Kalimantan Timur adalah pesut. Hewan ini megalami ancaman nyata sehingga populasinya terus berkurang. Salah satu sebab dari ancaman ini adalah kurangnya pasokan ikan mangsa (Yustiawati dkk., 2004). Menimbang hal tersebut beberapa penelitian telah dilakukan di Rawa Banjiran Loa Kang yang merupakan wilayah pemasok ikan mangsa bagi pesut (Yustiawati dkk., 2004a; Yustiawati dkk., 2004b; Sulawesty dkk., 2004; dan Badjoeri, 2009). Dari hasil kajian tersebut diperoleh informasi bahwa Rawa Banjiran Loa Kang memiliki tingkat produktvitas yang rendah yang dicirikan dnegan rendahnya kandungan partikel terlarut (Yustiawati dkk.,  2004a) dan kelimpahan ftolankton dan kandungan klorofil a yang rendah (Sulawesty, 2004). Hal ini tentu saja secara alami merupakan sebab utama rendahnya produksi ikan di wilayah tersebut. Selain itu, dapat disimpulkan pula bahwa kadar ammonia di perairan ini cukup tinggi dan proses amonifikasi yang terjadi di wilayah tersebut (Yustiawati dkk., 2004b; Badjoeri, 2009). Namun hasil kajian kelimpahan bakteri eutrofkasi menujukkan perbedaan yang nyata. Dari hasil kajian tim tersebut, paparan banjir ini dikategorikan sebagai danau eutrofik (Aisyah dkk., 2008).

4.Danau Sentarum
Danau Sentarum merupakan salah satu ikon penting dalam industri pariwisata Provinsi Kalimantan Barat. Danau yang merupakan Ramsar site kedua di Indonesia ini memiiki keunikan tersendiri secara hidrologi. Keterkaitan antara ekosistem Danau Sentarum dengan Sungai Kapuas yang merupakan sumber air utama danau ini telah dikaji secara luas oleh berbagai pihak (Yuniarti dkk., 2010), namun keunikan biota D.  Sentarum terus memberikan kekaguman dengan semakin adanya penelitian yang dilakukan di sekitar ekosistem danau ini. Salah satu contoh yang diperoleh adalah jenis-jenis ikan asli yang beragam.  Hal penting yang perlu dicatat adalah nilai kelimpahan fitoplankton yang tergolong rendah sampai sedang (Sulawesty, 2014) meskipun produktivitas perikanan di danau ini tergolong tinggi.

Danau Sentarum (Foto: S. Aisyah).

Perairan Darat Di Kalimantan Tengah

Wilayah perairan di Kalimantan Tengah mempunyai keunikan tersendiri karena lingkungan perairan di wilayah ini dikelilingi oleh gambut. Secara umum air sungai dan danau di perairan gambut berwarna coklat kehitamaman karena banyaknya kandungan bahan organik terutama senyawaan humat, dengan pH asam (dibawah pH 5). Yustiawati (2014) melaporkan kandungan DOC di Kanal Kalampangan dan Sungai Sebangau berkisar antara 37,3 – 43,8 mg/L. Pada tahun 2011, telah dilakukan kerjasama penelitian antara LIPI, Hokkaido University dan Universitas Palangka Raya untuk mengestimasi CDOM dari konsentrasi DOC/CDOM di perairan gambut dengan menggunakan Airborne Hypermap Data.
Sejak tahun 1990-an ekosistem wilayah gambut mulai terganggu karena adanya deforestasi yang dipicu dengan adanya pembukaan lahan sejuta hektar untuk persawahan. Bahkan pada beberapa tahun terakhir, degradasi ekosistem gambut dan pengeringan di wilayah gambut telah memicu terjadinya kebakaran gambut yang dampaknya sangat luar biasa, baik secara regional maupun global, sehingga dikategorikan sebagai “Bencana kebakaran gambut”. Dampak kebakaran hutan telah diteliti dengan mengamati karakteristik asam humat di perairan maupun tanah gambut yang telah terbakar (Yustiawati dkk., 2014). Selain itu aktifitas penambangan emas telah mencemari beberapa perairan sungai karena penggunaan merkuri dalam proses amalgamasi emas seperti yang terjadi di Sungai Kahayan (Yustiawati dkk., 2005).

Perairan Darat Di Pulau Sulawesi

Sulawesi merupakan daerah peralihan antara tipe fauna dan flora Asia dengan tipe fauna dan flora Australia.  Hal ini menyebabkan tipe ekosistemnya, termasuk ekosistem perairannya, mempunyai kekhasan. Danau-danau di Sulawesi umumnya memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi dan dihuni banyak biota-biota endemik baik ikan, udang, kepiting, moluska, tanaman riparian, maupun tanaman air.  Kondisi perairan danau-danau di Indonesia sebagian besar telah mengalami gangguan oleh aktivitas antropogenik terutama pengkayaan bahan organik dan nutrien, sehingga kondisi kualitas airnya cenderung mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Di samping itu keanekaragaman hayati perairan-perairan umum ini juga telah mengalami penurunan dan bahkan ada yang hampir punah.

1. Danau Matano (Sulawesi Selatan)
Danau Matano memiliki luas 164 km²  dan terletak di Kompleks Malili, Sulawesi Selatan dan merupakan danau terdalam (590 m). Termasuk danau purba (ancient lake) jenis tektonik dengan tingkat kesuburan  oligotrofik. Danau Matano memiliki endemisitas biota yang relatif tinggi.  Danau Matano dengan kedalaman air yang tinggi, tebing tepi danau dan dasar danau curam, serta banyak sungai mengalir ke dalam danau tetapi hanya satu sungai yang mengalirkan air keluar danau. Profil temperatur danau Matano memperlihatkan termoklin (Hehanussa & Haryani, 1998).

Tepian Danau Matano yang sudah berlaih fungsi dari hutan menjadi kebun merica (Foto: S.H. Nasution).

2. Danau Towuti (Sulawesi Selatan)
Danau Towuti memiliki 11 jenis ikan, empat jenis kepiting, sembilan jenis moluska dan sekitar 15 jenis udang hias komoditas ekspor, dengan kelimpahan tertinggi masing – masing kelompok adalah  ikan pangkilang kuning (Telmatherina celebensis), kepiting jenis Syntripsa matannensis, moluska jenis Tylomelania lalemae (Kruimel) dan udang jenis Caridina sp. Ada indikasi bahwa perairan D. Towuti telah tercemar secara biologis yang ditandai sudah masuknya ikan Nila (Oreochromis niloticus),  Mujair (Oreochromis mosambicus), Betok (Anabas testudineus) dan   Gabus (Channa  striata) (Nasution,  2009). 

Danau Towuti (FotoS.H. Nasution).

3. Danau Tempe (Sulawesi Selatan)
Danau Tempe salah satu danau paparan banjir (floodplain lake) di Indonesia yang terletak di Sulawesi Selatan. Danau Tempe  merupakan kawasan konservasi sumber daya air yang telah mengalami degradasi, diindikasikan dari pendangkalan dan gulma air yang berlimpah. Hal ini mengakibatkan daya dukung danau tersebut menjadi menurun.   Distribusi spasial dan temporal nutrien menunjukkan kondisi kualitas air dicirikan oleh senyawa N dan P. Konsentrasi rata-rata TN dan TP yang tinggi dengan nilai masing-masing sebesar 1,386 mg/L dan 0,198 mg/L menunjukkan bahwa D. Tempe termasuk danau produktif dengan kategori perairan eutrofik dan Nitrogen sebagai faktor pembatas kesuburan danau  (Aisyah & Nomosatriyo, 2016).
Luas permukaan sistem D. Tempe berkisar 280 - 430 km2 dengan nilai kedalaman 9 m selama ketinggian air tinggi, saat air rendah hanya sekitar 10 km2 yang tetap tergenang di periode maksimum dengan kedalaman 1,5 m (Toruan  &  Setiawan,  2017).

Danau Tempe  (Foto: F. Sulawesty).

4. Danau Poso (Sulawesi Tengah)
Penggunaan lahan pada DTA Danau Poso terdiri dari kawasan lindung  (11,4 %), kawasan penyangga (28,7%), tanaman tahunan (42,9%), tanaman semusim dan pemukiman (17%). Luas perairan danau (A) yaitu 368,9 km2, kedalaman maksimum  384,6 m dengan rasio DTA/A sebesar 3,4,  memiliki volume air 71.811.599.956 m3,dan waktu tinggal (retention time) 7,2 tahun. Berdasarkan nilai kedalaman relatif (Zr = 1,18), perairan Danau Poso bersifat tidak stabil, nilai pengembangan garis pantai (DL= 1,59) yang menunjukkan peranan tepian terhadap produktivitas perairan rendah, sedangkan luas litoral mencapai 4.000 ha. Fluktuasi muka air 1,86 m yang terkait dengan pola curah hujan di DTA-nya (Lukman &  Ridwansyah, 2009).

5. Danau Lindu (Sulawesi Tengah)
Sebagian besar daerah tangkapan Danau Lindu adalah hutan lindung (82,3%) yang berada pada kemiringan lahan >40%, selebihnya adalah kawasan pemanfaatan, sebagian besar berada pada kemiringan lahan 0 – 3 %.  Kondisi hidrologis didominasi oleh sungai-sungai kecil, sungai terbesar adalah Sungai Katti dengan debit sesaat yang terukur 7,5 m3.dt-1, dan outlet danau melalui Sungai Rawa. Luas Danau Lindu (3.447 ha) hanya mencakup 6,3% kawasan daerah tangkapannya, sehingga daerah tangkapan akan memberikan pengaruh besar terhadap kondisi perairan danau. waktu tinggal air danau relatif pendek, yaitu 2,26 tahun (Lukman &  Ridwansyah, 2003).

6. Danau Tondano (Sulawesi Utara)
Struktur populasi ikan payangka (Ophieleotris aporos) di Danau Tondano semakin menurun dari ukuran panjang. Menurunnya populasi ikan  karena rusaknya lingkungan dan habitat akibat ulah manusia dalam mengeksploitasi sumberdaya tanpa mengindahkan kelestarian (Mamangkey & Nasution, 2014). Sementara itu distribusi spasial Zooplankton di D. Tondano menunjukkan bahwa ada 21 spesies cladocerans, 31 copepoda dan 60 rotifera. Jumlah cladoceran yang relatif rendah terkait dengan tekanan predator tinggi dari ikan planktivora terutama di zona pelagis terbuka (Toruan, 2016).

Danau Tondano (Foto: Dok. P2L).

7. Danau Limboto (Gorontalo)
D. Limboto yang terletak di Gorontalo merupakan danau tektonik yang berfungsi sebagai pengendali banjir, imbuhan air tanah, budidaya perikanan, sumber irigasi pertanian dan pariwisata. Fluktuasi muka air danau sangat ekstrim, kedalaman maksimum 6 meter dan minimum 2,5 meter. Hasil pemetaan batimetri Danau Limboto oleh Fakhrudin dkk. (2013) menunjukkan bahwa pada elevasi air 6 m luas danau 5.121 ha dengan volume air 135,6 juta m3 dan ketika kemarau luas danau hanya 1.503 ha dengan volume air 10,4 juta m3. Luas DTA D. Limboto (900 km2) yang mencapai lebih dari 17 kali luas permukaan danau (51,21 km2). Sungai-sungai besar yang mengalir masuk ke D. Limboto adalah S. Biyonga, S. Meluopo dan S. Alo-Pohu, sedangkan outlet danau melalui S. Tapodu. S. Biyonga merupakan sungai yang mempunyai kontribusi terbesar dalam sedimentasi danau.

Perairan Darat  Di Pulau Bali, NTB, NTT,  Maluku,  Dan Papua

Danau Batur
Danau Batur merupakan danau terbesar di Bali dan merupakan danau kaldera vulkanis, masyarakat setempat menggunakannya untuk mendukung aktivitas keseharian seperti perikanan, pertanian, rekreasi, dan lain-lain (Sulawesty, 2009).  Ada tiga kelompok besar fitoplankton yang ditemukan di Danau Batur, yaitu Chrysophyta (8 jenis), Chlorophyta (5 jenis) dan Cyanophyta (2 jenis), dengan jenis yang dominan Synedra ulna, Navicula pupula, Cosmarium contractum dan Anabaena sp.   Kelimpahan fitoplankton berkisar antara 1,250 x 103 – 3,73 x 107 individu/L dengan rata-rata 8,56 x 105  ind./L.  Dilihat dari aspek kualitas air lainnya, kandungan padatan tersuspensi (SS), klorofil a dan konduktivitas, cenderung terdeposisi di bagian terdalam danau. Konduktivitas dan SS mengalami peningkatan sementara klorofil a dan kelimpahan fitoplankton menunjukkan pola sebaliknya sehingga tampaknya Danau Batur lebih banyak menerima input partikel mineral dari pada bahan organik (Sulawesty & Awalina, 2013).  Zooplankton khususnya Ceriodaphnia sp. pola migrasi hariannya dipengaruhi oleh kandungan oksigen terlarut dan ketersediaan makanan pada kolom air (Toruan, 2013).

 
 

Danau Batur (Foto: F. Sulawesty).

Danau Tamblingan
Danau Tamblingan adalah danau yang terletak di lereng sebelah utara Gunung Lesung, kawasan Desa Munduk, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, Bali. Danau ini merupakan satu dari tiga danau kembar yang terbentuk di dalam sebuah kaldera besar.Sebagai salah satu objek wisata alam, Danau Tamblingan tidak dikembangkan ke arah pariwisata modern demi menjaga kelestarian alam dan lingkungannya.  Terdapat 46 jenis pohon dengan nilai indeks keanekaragaman sedang menurut Shannon-Wienner (1,349). Kesamaan jenis sedang menurut nilai indeks kesamaan jenis Sorrensen (49,18%). Pohon yang memiliki persentase jumlah individu terbanyak adalah Altingia excelsa Noronha dengan jumlah 55 individu/hektar dan nilai KR sebesar 19,50%. Pohon yang memiliki INP tertinggi adalah lateng pohon atau Dendrocnide microstigma (Wedd.) Chew. yaitu sebesar 44,24%. Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan data tentang keragaman jenis poho di daerah riparian danau Buyan-Tamblingan (Paramitha, 2014).


Embung Lombok
Perairan embung memiliki peran penting dalam menunjang berbagai aktifitas kehidupan masyarakat propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) terutama untuk pertanian, peternakan dan air baku. Musim penghujan berdurasi lebih pendek dibandingkan musim kemarau, sehingga perairan embung pada dasarnya berfungsi sebagai penampung air di musim penghujan dan sumber air di musim kemarau.  Perairan embung cenderung memiliki tingkat kesuburan yang tinggi berdasarkan kandungan senyawa nitrogenik dan fosfor, serta klorofil-a. Kandungan materi organik total dan TDS cukup tinggi dan kekeruhan sangat tinggi di embung Pejanggi. Kelimpahan, jumlah jenis dan indeks keragaman fitoplankton rendah, sedangkan kelimpahan zoobenthos cukup tinggi (Sulawesty dkk.,  2013).

 
 
 

Beberapa embung di Lombok (Foto: F. Sulawesty).

Danau Tolire Besar
Danau Tolire Besar adalah salah satu danau dari tiga danau yang berada di Pulau Ternate, Maluku Utara disamping Danau Tolire Kecil dan Danau Ngade. Ternate merupakan sebuah pulau vulkanik di Maluku Utara, didalamnya terdapat gunung api aktif (G. Gamalama) berketinggian 1.715 m dpl. Berdasarkan proses terbentuknya danau-danau tersebut digolongkan sebagai danau vulkanik dengan type Maar. Danau ini dikelilingi oleh tebing curam setinggi 60-80 m dengan luas DTA 244,2 Ha, tidak mempunyai outlet dan inlet hanya berupa alur air dari puncak Gunung. Pengukuran yang dilakukan di Danau Tolire Besar pada tahun 2011 (Setiawan dkk., 2014) menghasilkan informasi kondisi fisik danau dan daerah tangkapannya. Danau Tolire dikelilingi oleh tebing curam setinggi 60-80m, tidak mempunyai outlet dan inlet hanya berupa alur air dari puncak Gunung. Luas DTA danau adalah 244,2 Ha dengan tanah ber-ordo Inceptisols dan Ultisols, dengan Iklim termasuk ke dalam tipe iklim B (Basah). Kedalaman maksimum danau 43,1 m, diameter 600 m, luas badan air 26,5 Ha, kecerahan danau hanya 4 m, salinitas, DO serta profil pH dan ORP mempunyai pola yang hampir sama, yang mengindikasikan bahwa pada kedalaman antara 8 dan 9 m adalah lapisan chemocline atau oxycline. Lapisan permukaan cenderung bersifat oksidatif dan lapisan dasar reduktif. Tidak dijumpai adanya stratifikasi lapisan danau oleh perbedaan suhu, dengan suhu permukaan 30°C. Daya dukung danau terhadap biota ikan sangat rendah, dimungkinkan karena faktor tingginya kandungan sulfida dan lingkungan yang terisolir.

Danau Tolire (Foto: G.S. Haryani).

Danau Sentani
Danau Sentani merupakan salah satu danau besar yang terdapat di Provinsi Papua, dengan luas sekitar 9.360 hektar dan berada pada ketinggian 75 mdpl. Danau  Sentani terletak di bagian utara Provinsi Papua, tepatnya di Kabupaten Jayapura. Kawasan sekitar Danau Sentani merupakan bagian dari kawasan lindung yang mencakup Kawasan Danau dan Cagar Alam Pegunungan Cycloop. Danau Sentani ditetapkan sebagai salah satu danau prioritas konservasi tahun 2010-2014 berdasarkan Konferensi Nasional Danau Indonesia di Bali tahun 2009 tentang Manajemen Danau yang Berkelanjutan. Sebagai kawasan lindung, Danau Sentani kaya akan keanekaragaman jenis biota seperti ikan, tumbuhan air, vegetasi riparian, fitoplankton, perifiton, termasuk juga interaksi yang terjadi di dalamnya.
Untuk biota ikan, menurut penelitian yang dilakukan oleh Nasution dan Haryani (2014) ditemukan 11 jenis ikan di Danau Sentani yang terdiri dari 8 jenis ikan asli dan 3 jenis ikan invasif. Salah satu jenis ikan introduksi yang ditemukan adalah Red Devil (Amphilopus labiatus). Jika jenis ikan introduksi seperti ini banyak ditemukan dan terus bertambah, akan mengancam keberadaan ikan asli di Danau Sentani. Sementara itu, jenis ikan yang dominan ditemukan adalah ikan Hewu (Glossolepis incisus) atau lebih dikenal dengan nama ikan pelangi merah yang merupakan jenis ikan asli Danau Sentani. Perkembangan sel-sel gonad sebagai salah satu aspek reproduksi ikan pelangi merah juga telah dikaji oleh Haryanidan Nasution pada tahun 2014. Ikan pelangi merah yang diteliti berada pada tahap perkembangan gonad yang beragam, yaitu antara TKG II dan IV. Ikan pelangi merah termasuk ikan yang berpijah secara parsial dan mulai matang gonad pada ukuran panjang tubuh 7 cm.

Danau Ayamaru
Danau Ayamaru merupakan danau karst yang terletak di kabupaten Maybrat, propinsi Papua Barat (132 10’ 30” BT dan 01 14’26” -01  17’39 “ LS).  Danau ini dihuni oleh beberapa biota endemik yang saat ini mulai terancam kepunahan, khususnya ikan pelangi (Melanotaenia ajamaruensis, M. bosemani, dan M. fasinensis). Survey tahun 2012 (Chrismadha dkk., 2014) memperlihatkan kondisi perairan danau unik kawasan karst yang cenderung alkalin (pH>7) serta tingkat kesadahan yang tinggi. Dilihat dari kandungan unsur hara serta kondisi komunitas fitoplankton, perairan Danau Ayamaru diperkirakan berada pada status kearah mesotrofik. Untuk mencegah agar status perairan danau tidak menjadi eutrofik,  perlu upaya pengendalian kesuburan air, yaitu terutama melalui pengembangan sistem sanitasi yang baik di kawasan pemukiman sekitar danau. Permasalahan utama terkait pelestarian ikan pelangi adalah adanya invasif spesies, yaitu gabus Toraja (Chana striata) dan ikan mas (Cyprinus carpio) yang lebih mendominasi komunitas ikan di dalam perairan danau ini. Upaya pemulihan populasi ikan pelangi perlu dilakukan dengan pengembangan reservat di Danau Ayamaru untuk menjaga  stok alami, serta pengembangan habitat eksitu yang terkontrol dan domestikasi untuk restoking (penebaran ulang). Disamping itu juga disarankan untuk membatasi perkembangan populasi ikan gabus, dengan cara penangkapan jenis ini secara intensif untuk mengurangi ancaman terhadap keberadaan ikan endemis di dalam danau.

Danau Paniai
Danau Paniai, merupakan danau purba yang berada pada 1,752 di atas permukaan laut, terletak di Paniai Timur, Kabupaten Papua. Danau ini merupakan kompleks danau, yang terdiri dari Danau Tigi, Danau Tage, dan Danau Paniai. Daya tarik Danau Paniai tidak hanya karena keindahan alamnya, namun juga pada  budaya dan tradisi masyarakat lokal (Suku Me) yang sangat kuat. Budaya, tradisi, dan gaya hidup Suku Me berkembang menjadikan Danau Paniai sebagai ekosistem yang unik, yang menjadikannya sebagai daya tarik ekoturisme. Namun, eksploitasi tambang yang tengah dilakukan, membuat ekosistem danau ini terancam. Karenanya diperlukan strategi konservasi yang sesuai untuk menjaga ekosistem ini tetap lestari, dengan tetap menyertakan kearifan budaya lokal (Yogie dkk., 2010).

B. Konservasi Sumberdaya Perairan Darat

Beberapa hasil kegiatan penelitian di Pusat Penelitian Limnologi yang telah dilakukan terkait Potensi dan konservasi sumberdaya perairan adalah sebagai berikut.

Pengembangan Sistem Konservasi Sumberdaya Perairan Muara Sungai Layang, Kabupaten Bangka, Untuk Mendukung Produksi Perikanan di Wilayah Pesisir dan Laut

Perairan muara sungai merupakan sumber daya perairan darat yang memiliki potensi penting baik ditinjau sisi ekologi maupun sisi ekonomi.  Secara ekologi perairan muara merupakan tempat pemijahan, asuhan anakan ikan dan tempat mencari makan biota laut sehingga perairan muara memiliki fungsi mendukung produksi perikanan laut dan pesisir. Perairan muara juga merupakan wilayah bertumbuhnya industri dan aktivitas ekonomi lainnya sehingga pemanfaatannya semakin intensif dan sering menimbulkan masalah karena konflik kepentingan.

Peta zonasi kawasan konservasi sumberdaya habitat dan biota Muara Layang (Ridwansyah, 2004).





Kegiatan penambangan timah di perairan muara sungai (tengah kanan), Kegiatan penangkapan ikan (tengah), pelatihan pengelolaan kawasan konservasi  sumber daya perairan muara (Sumber: Sulastri, 2013).






Keanekaragaman sumber daya ikan muara Sungai Layang (Sulastri dkk., 2013).

Konsep Pemulihan Populasi Ikan Semah di Ruas Sungai di Sekitar Danau Kerinci

Restorasi sumber daya perairan ditujukan untuk pemulihan habitat yang sekaligus pemulihan sumber daya ikan yang dalam hal ini seperti yang diaplikasikan pada populasi ikan semah (Tor spp) di Danau Kerinci melalui penyusunan konsep pemulihan secara ekologis dan berwawasan ekonomi.  Ikan semah yang tergolong famili Cyprinidae ini ditemukan di perairan Sumatera, Kalimantan dan Jawa. Jenis ikan ini banyak disukai masyarakat sehingga populasinya terus menurun. Secara tradisional masyarakat telah melakukan pelestarian, seperti menerapkan lubuk larangan, dan menggunakan sistem tabu bila menangkap ikan ini. Ikan semah juga dijadikan simbol–simbol leluhur pada relief candi. Dalam perkembangan jaman pelestarian secara tradisional tidak bisa bertahan lama sehingga pada kenyataannya populasi ikan semah terus menurun.  Oleh karena itu perlu dikembangkan konsep pemulihan ini agar memberikan manfaat secara berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat.

Upaya Domestikasi Ikan Kancra (Labeobarbus sp.) di Kuningan, Jawa Barat

Pengembangan  habitat buatan untuk ikan kancra (Labeobarbus sp.) didasari pemikiran bahwa keberadaan ikan-ikan tersebut di habitat alaminya seperti sungai-sungai dan danau-danau di Pulau Jawa dan Sumatra sudah sangat kritis. Fakta-fakta lain menunjukkan bahwa sejumlah populasi ikan kancra terpelihara pada kolam-kolam di Kabupaten Kuningan, yang dikeramatkan oleh para leluhur masyarakat setempat. Pengembangan habitat buatan, dengan mengadopsi habitat alaminya, telah dilakukan di kawasan Balong Dalem, Jalaksana, Kabupaten Kuningan pada tahun 2001 sebagai langkah awal domestikasi ikan kancra.


Pemulihkan Populasi Ikan Marosatherina ladigesi  di Perairan Sungai Sekitar Taman Wisata Alam (TWA) Bantimurung, Sulawesi Selatan

Marosatherina ladigesi adalah ikan endemik yang menghuni perairan mengalir di Sulawesi Selatan dan merupakan komoditas ikan hias populer.  Penangkapannya yang intensif dan terjadinya kerusakan lingkungan, mengakibatkan populasinya di alam menurun, sehingga diperlukan usaha perlindungan habitatnya maupun usaha domestikasinya.  Pengembangan habitat buatan merupakan salah satu tahap  domestikasi. Telah dilakukan pengembangan habitat buatan semi eks situ, di Taman Wisata Alam (TWA) Bantimurung, Kabupaten Maros Sulawesi Selatan, dengan tujuan untuk mengetahui kemampuan habitat tersebut dalam menunjang kelangsungan populasi ikan.  




Habitat Semi ex-situ ikan endemik Marosatherina ladigesi di Bantimurung (Foto: Lukman, D.S. Said).

Panduan Teknis Pengelolaan Kawasan Konservasi di Habitat Paparan Banjir

Upaya konservasi sumberdaya ikan telah menjadi perhatian pemerintah sejak lama, tercatat pada tahun 1986 telah ditetapkan lebih dari 100 buah suaka perikanan berlokasi  di  Kalimantan dan Sumatera. Diantara suaka perikanan tersebut adalah suaka perikanan di danau wilayah paparan banjir.  Di Kalimantan Tengah misalnya Danau Rengas, Danau Lutan yang merupakan suaka perikanan yang terletak di paparan banjir sistem Sungai Kahayan dan Danau Loa Kang  yang merupakan suaka perikanan di wilayah paparan banjir sistem Sungai Mahakam, di Kalimantan Timur.

Diagram tipe-tipe habitat di paparan banjir di Sumatera Selatan (Hartoto, 2004).
Contoh morfologi tipe-tipe habitat di paparan banjir yang sesuai dan sudah dijadikan suaka perairan. Keterangan: Garis lurus merupakan batas zona inti, garis putus-putus  merupakan batas zona penyangga dan zona ekonomi.

Pengembangan Sistem Konservasi Biota Endemik di Danau Towuti, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan

Danau Towuti  merupakan danau yang masih alami atau oligotrofik, terletak di danau–danau komplek Malili, Kabupaten Luwu Timur,  Propinsi Sulawesi Selatan. Danau Towuti terletak di bagian hilir dari rangkaian tiga danau komplek Malili yakni Danau Matano, Danau Mahalona dan Danau Towuti. Danau Towuti memiliki luas 56.000 ha dan kedalaman maksimum 203 m serta memiliki keanekaragaman jenis biota endemik yang tinggi. Beberapa jenis biota endemik ini berpotensi ekonomi seperti  ikan dan udang hias menjadi komoditas ekspor. Dari 29 spesies iktiofauna (ikan), 19 spesies diantaranya merupakan ikan endemik  dan jenis yang dominan adalah Pangkilang kasar/kuning (Telmatherina celebensis) dan Bonti-bonti (Paratherina striata). Disamping itu juga ditemukan 15 jenis udang yang diperkirakan endemik (Nasution, 2011).




Penangkapan menggunalan alat bagan (atas kiri), peta zonasi kawasan konservasi (atas kanan),  Ikan Paratherina striata (bawah kiri), berbagai jenis udang hias endemik (bawah kanan) (Sumber: Nasution dkk., 2014).

Konsep Konservasi  Danau Toba

Pemanfatan Danau Toba cukup intensif dan dari berbagai sektor.  Kerangka pengelolaan yang perlu dilakukan adalah Penataan Pemanfaatan Ruang, Pengelolaan DTA, Perlindungan Pencemaran dari Aktivitas di  Daratan dan dari dalam danau dengan meminimalkan beban sedimentasi,  perlunya penggunaan pupuk atau pestisida yang rasional, menerapkan sistem pengolahan limbah komunal, meminimalkan dampak kegiatan budidaya ikan dalam KJA dengan menerapkan tingkat produksi ikan sesuai daya dukung perairan. Kerangka pengelolaan selanjutnya adalah mempertahankan ketersediaan sumberdaya hayati  dengan menetapkan kebijakan pemanfaatan pada tingkat maksimum lestari, melalui pembatasan ukuran alat tangkap dan menetapkan zona lindung dan alur ruas sungai sebagai tempat pemijahan ikan.



Peta tutupan lahan di Wilayah DTA (kiri atas), kegiatan budidaya tanaman di lahan terjal di Wilayah DTA (kanan atas), tutupan lahan di DTA, pemanfaatan ruang perairan Danau Toba (Sumber: Lukman dkk., 2014).

Penetapan kelas-kelas wilayah perairan di Danau Toba untuk pengembangan KJA (Modifikasi dari Lukman dkk., 2013).

Pemulihan Danau Kerinci dari Penutupan Tumbuhan Air Eceng Gondok (Eichornia crassipes)
 
Upaya pengendalian melimpahnya tumbuhan eceng gondok D. Kerinci dilakukan  dengan tehnik biomanipulasi yakni suatu teknik pengendalian tumbuhan air secara biologi melalui manipulasi sistem jaring-jaring makanan. Tehnik biomanipulasi yang dilakukan adalah melalui introduksi ikan herbivora yakni koan (Ctenopharingodon idella) ke perairan danau. Ikan herbivora akan memanfaatkan tumbuhan eceng gondok sebagai sumber pakannya. Introduksi ikan koan ke Danau Kerinci  dilakukan pada tahun 1995 sebanyak 305 kg dengan ukuran  5 – 8 cm. Dalam kurun 3 tahun atau pada tahun 1997 penutupan tumbuhan eceng gondok menunjukkan penurunan yang nyata. Penurunan penutupan tumbuhan eceng gondok juga menyebabkan perubahan kualitas air Danau Kerinci. Setelah pulih  kembali, Danau Kerinci dimanfaatkan untuk festival budaya oleh masyarakat setempat.


Tegakan eceng gondok yang menutupi 80 %  permukaan Danau Kerinci pada tahun 1995 (Sumber:  Sriwijaya Post 1995 (kiri), Danau Kerinci bersih dari tumbuhan air  tahun 1997, setelah ditebari ikan koan (Ctenopharingodon idella) pemakan tumbuhan (tengah), ikan koan setelah 3 tahun di D. Kerinci mencapai berat 12 kg dan panjang 1 m (kanan).

Pengendalian Tumbuhan Air Melalui Rekayasa Lingkungan di Danau Rawa Pening, Jawa Tengah

Penutuapan air eceng gondok di danau ini sudah lama terjadi dan terus meningkat sehingga tumbuhan air eceng gondok menutupi permukaan perairan mencapai  lebih dari 40 %  (Suprobowti  dkk., 2012  dalam Sulastri dkk., 2016).  Tumbuhan air di D. Rawa Pening tidak hanya didominasi oleh eceng gondok tetapi juga jenis–jenis lainnya seperti Hydrila sp,  dan Salvinia sp. Kondisi ini dapat dipahami karena D. Rawa Pening merupakan danau dangkal, tumbuhan air yang hidup melayang seperti Hydrilla mudah tumbuh di perairan dangkal karena lebih mudah memanfaatkan nutrien dari dasar perairan.







Penutupan tumbuhan air eceng gondok (kiri atas), kegiatan pemeliharan ikan tawes dan nila dipelihara dalam  jaring apung  dan diberi pakan tumbuhan air (kanan atas), ikan koan  (kiri bawah)  ikan tawes  (tengah bawah), ikan nila (kanan bawah) setelah dipelihara dan diberi makan tumbuhan air di Rawa Pening (Foto: Sulastri 2013).

Teknologi Rasau Terapung untuk Pengelolaan Perikanan Tangkap dan Konservasi Sumber Daya Ikan di Danau Maninjau, Sumatera Barat

Rasau secara umum dikenal dengan rumpon tradisional yang berfungsi sebagai alat pengumpul ikan dalam penangkapan ikan oleh nelayan. Penggunaan rasau untuk menangkap ikan di Danau Maninjau telah diterapkan sejak lama. Rasau dibuat dari kumpulan ranting kayu, dan pelepah pohon kelapa yang dibenamkan di pinggir danau. Penggunaan rasau ini cukup efektif untuk membantu menangkap ikan di danau.  Selain sebagai alat pengumpul ikan, rasau juga memiliki fungsi ekologis yakni sebagai tempat perlindungan, pemijahan dan mencari makan. Melalui rasau terbentuk sistem rantai makanan yang  mendukung fungsi kehidupan. Penempatan rasau di danau bagian tepi dapat menunjang peran produktivitas perairan di wilayah litoral danau.






Rasau tradisional di Danau Maninjau (kiri atas), rasau modern (kanan atas), rasau terapung yang dikelola kelompok masyarakat (kiri bawah), skema penempatan rasau terapung di perairan (tengah, kanan bawah) (Triyanto dkk., 2011).